Pewarnaan Granula Bakteri
A. Judul Percobaan
Pewarnaan Granula Bakteri Metode Neisser
B. Tujuan Percobaan
Untuk mengtahui butir-butir granula bakteri Corynebacterium diphtheriae
C. Dasar Teori
Pewarnaan bakteri memberikan hasil yang cepat dan mengindikasi langkah diagnosis selanjutnya. Pada prosedur Neisser yang tidak spesifik,methylene blue , crystal violet dan chrysoidine digunakan untuk mendeteksi granula metechromatic, atau yang disebut Babes-Ernst polar bodies, khususnya pada diphtheria bacteria. Dengan nilai pH yang telah ditentukan, methylen blue dan crystal violet akan diikat pada polar bodies atau struktur (Volutin bodies), tetapi tidak terikat pada sel bakteri lainnya. Polar bodies akan terlihat sebagai titik gelap. Pada prosedur counter stain, badan bakteri diwarnai dengan chrysoidine tetapi ini hanya sebagian terserap oleh polar bodies.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak. Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.
Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka – luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 µg/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 µg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis 0,1 µg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi polipeptidil- RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadak.
D. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Mikroskop
b. Swap
c. Objek gelas
d. Tabung Reaksi
e. Rak tabung reaksi
f. Kertas Saring
2. Bahan
a. Secret Laring
b. Larutan Neisser A
c. Larutan Neisser B
d. Larutan Neisser C
e. Aquadest
E. Prosedur Kerja
1. Preparat yang telah difiksasi diletakkan diatas bak pewarna
2. Kemudian diwarnai dengan 2 bagian larutan Neisser A dan 1 bagian Neisser B (larutan harus dibuat larut) selama 15-30 detik.
3. Kelebihan zat warna dibuang
4. Dan tanpa dicuci, sediaan diwarnai dengan larutan Neisser C selama 15-30 detik.
5. Tanpa dibilas, sediaan dikeringkan diantara 2 helai kertas saring.
6. Kemudian ilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran 100X menggunaka oil imercy.
F. Hasil pengamatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar