Total Tayangan Halaman

Selasa, 03 Juli 2012

LAPORAN IMUNOSEROLOGI IV-VI


LAPORAN IMUNOSEROLOGI IV

Hari / Tanggal   : Senin, 14 Mei 2012
Judul                  : Reaksi Widal
Tujuan                : Untuk mendiagnosa demam tifoid
Metode               : Tabung
Prinsip                : Reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin).
Dasar Teori        :
Widal atau uji Widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri Salmonella enterica yang mengakibatkan penyakit Thipoid. Uji ini akan memperlihatkan reaksi antibodi Salmonella terhadap antigen O-somatik dan H-flagellar di dalam darah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Widal)
Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. (http://digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-3100006026929/5530)
Reaksi Widal merupakan test imunitas yang ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi / paratyphi, yaitu kuman yang terdapat di minuman dan makanan kita yang terkontaminasi dengan tinja orang yang sakit tifus. Jakarta dan Indonesia merupakan reservoir raksaksa kuman salmonella dan lainnya. Semua manusia di Indonesia pasti pernah kemasukan kuman salmonella melalui food-chain ini. Bila kebetulan jumlah kuman yang tertelan cukup besar mungkin akan timbul penyakit tifus yang terutama ditandai oleh demam berkepanjangan sebagai ciri khas. Namun tidak semua demam adalah tifus. Tifus perlu dicurigai bila demam berlanjut sedikitnya 6-7 hari. Juga demam tifus pada hari2 permulaan hanya ringan, tidak konstan, naik-turun, dan hanya setelah 5-7 hari akan tinggi menetap, disertai badan pegal dan sakit kepala, serta kadang2 mual dan diare ringan. Diagnosis tifus bisa dicurigai setelah demam sekitar seminggu ditambah gejala2 diatas. Secara statistik juga demam tanpa adanya gejala positif yang mengarah ke penyakit lain
Pemeriksaan labor untuk konfirmasi kecurigaan tadi ialah kultur darah, dilakukan sewaktu ada demam tinggi yang merupakan pertanda bahwa kuman sedang menyebar dalam darah (sehingga lebih mudah dikultur). Kultur tidak bia dilakukan pada hari2 permulaan demam karena cenderung masih negatif. Kita harus menunggu hingga demam sudah tinggi dan konstan. Sayangnya hasil kultur untuk kepastian diagnosanya baru diperoleh setelah 4-6 hari. Namun pengobatan sudah bisa dilakukan atas dasar penilaian klinis, sambil menunggu hasil kultur. (http://www.iwandarmansjah.web.id/popular.php?id=232)
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam typhoid masih kontroversial diantara para ahli. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer agglutinin lebih atau sama dengan 4 kali terutama agglutinin O atau agglutinin H bernilai diagnostic yang penting untuk demam typhoid. Kenaikan titer agglutinin yang tinggi pada specimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama. Begitu juga kenaikan titer agglutinin terutama agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostic yang penting untuk demam typhoid, namun masih dapat membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemic atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemic, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemic, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemic yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam typhoid, maka ambang atas titer rujukan, baik pada anak dan dewasa perlu ditentukan.
Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan. Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi.
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
ü  Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
ü  Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
ü  Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasiendengan gejala klinis khas. (http://id.wikipedia.org/wiki/Widal)

Alat dan Bahan
A.   Alat yang digunakan
1)    Tabung reaksi
2)    Pipet micron
3)    Rak tabung reaksi
4)    Incubator
B.   Bahan yang digunakan
1)    Serum
2)    Reagen tidal

Prosedur Kerja :
1.    Menyiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan
2.    Mengisi 8 tabung reaksi dengan NaCl 0,9 % masing-masing 1000 μl. kecuali tabung pertama 1900 μl.
3.    Menambahkan 100 μl serum kedalam tabung pertama.
4.    Memipet sebanyak 1000 μl sampel dari tabung I kemudiandimasukkan kedalam tabung II. Begitu setrusnya sampai tabung 7.
5.    Masukkan 1000 μl dari tabung 7 ke tabung 9.
6.    Memasukkan reagen control 40 μl kedalam tabung 8.
7.    Inkubasi selama 24 jam, pada suhu 370C
8.    Mengamati aglutinasi yang terjadi.

Interpertasi Hasil :
Titer :
O = -                    HA = -
H = 1/160           HB = -

Makassar,  28 Mei 2012
     Pembimbing                                                                         Pembimbing,


    (Nurdin, S.Si)                                                                         (Israwaty, S.Si)
Praktikan,

(Panca Rahmat)



LAPORAN IMUNOSEROLOGI V

Hari / Tanggal   : Senin,    28 Mei  2012
Judul                  : Pemeriksaan ASO cara kualitatif
Tujuan                : Untuk mendiagnosa ASO dalam serum pasien
Metode               : Direct
Prinsip                : Aglutinasi latex, menggunakan patikel latex yang dilapisi Streptolisin O, kemudian mereaksikan partikel ini dengan serum penderita.
Dasar Teori        :
Titer anti Streptolisin O (ASO/ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk demam rheumatik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptococcus .
Titer ASTO di anggap meningkat apabila mencapai 250 unit Tood pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak diatas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70 % sampai 80 % kasus “demam rheumatik akut “.
Sebagian besar dari strain-strain serologik dari Streptococcus Group A menghasilkan dua enzim hemolitik yaitu Streptolisin O dan S.
Di dalam tubuh penderita, Streptolisin O akan merangsang pembentukan antibodi yang spesifik yaitu anti streptolisin O (ASTO) sedangkan yang dibentuk Streptolisin S tidak spesifik.
Reaksi auto imun terhadap Streptococcus secara teori akan mengakibatkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam rheumatic, dengan cara :
ü  Streptococcus group A akan menyebabkan infeksi faring
ü  Antigen Streptococcus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada pejamu yang hiperimun.
ü  Antibodi bereksi dengan antigen Str eptococcus dan dengan jaringan pejamu yang secara antigen sama seperti Streptococcus.
ü  Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan pejamu,sehingga menyebabkan kerusakan jaringan. (http://bukankuygbiasa.blogspot.com/2010/12/uji-asto.html)
Suatu ifeksi oleh β-hemolitic Streptococcus grup A akan merangsang beberapa sel imunokompeten untun memproduksi beberpea antibody, baik terhadap beberapa produk ekstraseluler dari kuman (streptolisin,Hialuronidase,*9 streptokinase, DNAse) maupun terhadap komponen permukaan dari dinding sel kuman (cell surface membrane antigen = CSMA). Antibodi terhadap CSMA inilah yang diduga menyebabkan terjadinya kelainan pada jantung (endokardium) penderita demam rematik atau pada ginjal penderita glomerulonefritis.
Kelainan terhadap beberapa organ tersebut disebabkan oleh karena reaksi silang antar antibody terhadap CSMA dengan endokardium atau Glomerular Basement Membrane(GBM) atau menimbulkan pembentukan kompleks imun Ab-CSMA yang diendapkan pada glomerulus atau endokardium dan menyebabkan beberapa kerusakan pada beberapa bagian tubuh tersebut. Sebagian besar dari beberapa bagian strain serologis dari streptococci grup A mengahasilkan dua enzim hemolitik yaitu, Streptolisin-O dan S. Didalam tubuh penderita Streptolisin-O akan merangsang pembentukan antibody yang spesifik, yaitu Streptolisin-O (ASO) sedangkan antibody yang dibentuk terhadap streptolisin-S tidak spesifik.
Adanya antibody yang spesifik terhadap streptolisin-O ini kemudian dipakai sebagai ASO biasanya mulai meningkat 1-4 minggu setelah terjadinya infeksi. Bila infeksi kemudian mereda, maka titer ASO akan kembali normal setelah sekitar 6 bulan. Bila titer tidak menurun, suatu infeksi ulangan mungkin terjadi. (http://masselekang.blogspot.com/2009/06/imunologi.html).
Ada dua prinsip dasar penetuan ASO, yaitu:
1.    Netralisasi/penghambat hemolisis
Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang mengandung cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah, maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat menibulkan hemolisis lagi.
Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di tambahkan sejumlah streptolisin O yang tetap (Streptolisin O di awetkan dengan sodium thioglycolate). Kemudian di tambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer ASO yang tinggi.
2.    Aglutinasi pasif
Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapatmenyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O perlu disalutkan pada partikel-partikel tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu partikel lateks.
Sejumlah tertentu Streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di tambahkan pada serum penderita sehingga terjadi ikatan Streptolisin O – anti Strepolisin O (SO – ASO).
Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O yang disalurkan pada partikel – partikel latex . Bila kadar ASO dalam serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikel – partikel latex.
Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml. (http://bukankuygbiasa.blogspot.com/2010/12/uji-asto.html)

Alat dan Bahan :
A.   Alat
1)    Slide hitam
2)    Dropper/ pipet tetes
B.   Bahan
1)    Serum
2)    Reagen latex
Prosedur Kerja
1)    Kondisikan reagen dan sampel pada suhu ruangan
2)    Meneteskan 1 tetes sampel, 1 tetes control (+), dan satu tetes control (-) pada alat slide.
3)    Tambahkan masing-masing slide dengan ASO latex, homogenkan, kemudian jalankan waktu.
4)    Perhatikan adanya aglutinasi dalam waktu tepat 2 menit.

Interpertasi Hasil :
 (-) Negatif = tidak terbentuk aglutinasi
Makassar,  11 Juni 2012
     Pembimbing                                                                         Pembimbing,


    (Nurdin, S.Si)                                                                         (Israwaty, S.Si)
Praktikan,

(Panca Rahmat)



LAPORAN IMUNOSEROLOGI VI

Hari / Tanggal   : Senin,    28 Mei  2012
Judul                  : Pemeriksaan ASO cara kuantitatif
Tujuan                : Untuk mendiagnosa ASO dalam serum pasien dengan cara dteksi kuantitatif.
Metode               : Tabung
Prinsip                : Aglutinasi latex, menggunakan patikel latex yang dilapisi Streptolisin O, kemudian mereaksikan partikel ini dengan serum penderita. Adanya Streptolisin dalam serum penderita dinyatakan terjadinya aglutinasi dan partikel tersebut.
Dasar Teori        :
Streptolysin O adalah suatu toksin yang terdiri protein dengan berat molekul
60.000 dalton, aktif dalam suasana aerob yaitu melisiskan sel darah merahjuga
neutrofil, platelet dan organella subsel. Streptolysin O bersifat meracuni jantung.
Streptokokus grup A (Streptokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan
berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibody.
Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak mempunyai dampak perlindungan, tetapi adanya antibody itu dalam serum menunjukkan bahwa didalam tubuh baru saja terdapat streptokokus yang aktif. Antibody yang dibentuk adalah Antistreptolysin O (ASO), Antihialuronidase (AH), Antistreptokinase (anti SK), antidesoksiribonuklease B (AND B), dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase (anti-NADase).
Tes ASO paling banyak digunakan, hasil tes ini positif pada 80% faringitis
streptokokus, pada glumerulonefritis, demam rematik, enokarditis bacterial, dan
scarlet fever.Banyak anak usia sekolah memiliki kadar titer ASO yang lebih tinggi
daripada anak usia pra sekolah dan dewasa.
(http://lestariamaliani.blogspot.com/2011/10/pemeriksaan-aso-anti-streptolisin-o.html)
Penetapan ASO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi
infeksi oleh streptokokus. Yang lebih penting diperhatikan adanya kenaikan titer.
Meskipun semula titer rendah tetapi bila terjadi peningkatan dan tetap tinggi pada
pemeriksaan berikutnya, adanya infeksi oleh streptokokus.
(http://lestariamaliani.blogspot.com/2011/10/pemeriksaan-aso-anti-streptolisin-o.html)
Dalam infeksi yang disebabkan oleh ß-hemolytic streptococi, Streptolysin adalah salah satu dari dua exotoxin hemolytic yang dibebaskan dari bakteri yang menstimulasi produksi antibodi ASO di dalam serum manusia. Keberadaan serta level dari antibodi ini di dalam serum merefleksikan jenis dan parahnya sebuah infeksi.
Tes DALF ASO adalah cairan suspensi, yang dilindungi dalam buffer dan yang distabilkan, dari partikel latexpotysterene yang telah dibalut dengan Stretolysin O. Saat reagen latex dicampur dengan serum yangmengandung ASO, terjadilah agglutinasi. Sensitivitas reagen latex telah disesuaikan untuk menghasilkan agglutinasi saat level ASO lebih tinggi dari 200 IU/ml, sebuah level yang ditentukan dan mengindikasikan penyakit oleh penelitian epidemiologis dan klinis.
Anti-streptolysin O (ASO atau ASLO) adalah antibodi dilakukan terhadap streptolysin O, sebuah, imunogenik oksigen labil toksin hemolitik diproduksi oleh strain sebagian besar kelompok strain A dan banyak dari kelompok C dan G streptokokus .  O  singkatan oksigen stable; toksin terkait lainnya menjadi oksigen yang stabil streptolysin-S. Fungsi utama streptolysin O adalah untuk menyebabkan hemolisis (terbuka melanggar sel darah merah) pada khususnya, beta-hemolisis. (http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-streptolysin_O)
Level yang dapat dideteksi dari 200 IU/ml antibodi ASO biasanya dipandang sebagai batas atas yang normal karena kurang 15 – 20% dari orang-orang sehat menunjukkan titer yang lebih tinggi dari 200 IU/ml saat serum mereka diujikan. Dalam kasus bayi-bayi yang baru dilahirkan pada awalnya mereka memiliki titer di atas level di atas ibunya karena IgG yang didapat saat kelahiran, namun level ini akan menurun drastis selama mingguminggu awal sejak kelahiran.
Level ASO normal pada balita biasnya kurang dari 100 IU/ml namun level ini meningkat seiring dengan usia, meningkat saat usia sekolah dan menurun saat usia dewasa. Peningkatan titer ASO umumnya terjadi pada 1 – 4 minggu setelah permulaan infeksi dengan β-hemolytic streptococci Group A. Saat infeksi mulai menghilang, titer akan menurun dan kembali ke level normal dalam 6 bulan. Jika titer tidak menurun, mungkin ada infeksi kronis yang muncul kembali.
Titer ASO yang telah ditinggikan bisa diasosiasikan dengan ankylosing spondylitis glomerulonephritis , scarlet fever, dan tonsillitis. Level ASO yang ditinggikan umumnya tidak ditemukan dalam serum pasien dengan arthritis reumatik kecuali dalam kasus yang akut. Level ASO dalam kadar yang sangat rendah juga diobservasi dalam sampel darah dari pasien denan nephritic syndromr dan pada sindrom kekurangan antibodi.
Telah diketahui bahwa ada hubungan antara penyakit demam rematik dengan infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A (1). Semula para ahli masih sangsi bahwa infeksi Streptokokus dapat mengakibatkan timbulnya serangan demam rematik, karena banyak penderita demam rematik tanpa didahului tanda-tanda infeksi yang jelas.
Streptokokus seperti kuman lain dapat merangsang timbulnya antibodi dalam serum penderita dan kadang-kadang menunjukkan gejala infeksi yang jelas. Adanya data-data imunologik dalam serum penderita merupakan bukti telah terjadi infeksi oleh kuman tersebut. Stollerman melaporkan adanya titer antibodi Streptokokus yang tinggi pada penyakit demam rematik, yang timbul tiga sampai empat minggu setelah infeksi Streptokokus.
Selain pada penyakit demam rematik pengukuran antibodi Streptokokus ternyata juga mempunyai arti penting pada penyakit glomerulonegritis akuta, karena jenis tertentu dari penyakit tersebut sering disertai dengan titer antibodi Streptokokus yang tinggi.
Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi infeksi oleh Streptokokus. Streptolisin 0 bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan ASTO umumnya berdasarkan sifat ini. Ada beberapa cara penetapan ASTO, tetapi biasanya hanya merupakan modifikasi dari cara Todd yang asli; perbedaan hanya dalam pengenceran serum saja.
Penetapan dengan pengenceran serum menurut Rantz dan Randall yang banyak dipakai menetapkan titer 100 IU sebagai keadaan tidak ada penyakit demam rematik atau glomerulonefritis akuta, sedangkan titer 250 IU atau lebih perlu waspada terhadap kemungkinan infeksi Streptokokus dan mungkin pencegahan terhadap timbulnya penyakit demam rematik dapat dilakukan lebih dini. Yang lebih penting diperhatikan adanya kenaikan titer. Meskipun semula titer rendah tetapi bila terjadi peningkatan dan tetap tinggi pada pemeriksaan berikutnya, adanya infeksi oleh Streptokokus perlu dipikirkan.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi streptokokus grup A pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat (acquired heart disease) pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama negara sedang berkembang.
Keterlibatan kardiovaskular pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringanDemam reumatik akut menyertai faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan resiko terjadinya demam reumatik. Diperkirakan hanya sekitar 3 % dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis streptokokus yang tidak diobati
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan3. Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulangan1,3,5,6. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit3.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari data sebagai berikut:
1.    Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A, atau keduanya.
2.    Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya  sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak diobati.
3.    Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika.
Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibodi terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80% penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap Streptococcus.
Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago artikular. Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan organ multiple pada demam reumatik.
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima. Adanya antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif dalam pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik. (http://usebrains.wordpress.com/2008/10/04/demam-rematik-akut/).

Alat dan Bahan :
A.   Alat yang digunakan
1)    Tabung reaksi
2)    Rak tabung reaksi
3)    Slide hitam
4)    Pipet micron 100 μl
B.   Bahan yang digunakan
1)    Serum
2)    Aquadest
3)    ASO latex test

Prosedur Kerja :
1.    Kondisikan reagen pada suhu kamar
2.    Menyiapkan 4 buah tabung reaksi
3.    Isi masing-masing tabung reaksi dengan buffer salin sebanyak masing-masing 100 μl.
4.    Tambahkan 100 μl serum kedalam tabung I, lalu dari tabung I sebanyak 100 μl ke tabung II dan seterusnya sampai tabung IV, buang 100 μl pada tabung IV agar semua tabung volumenya seimbang.
5.    Prosedur kerja selanjutnya seperti pada pemerikasaan ASO latex cara direct



Interpertasi Hasil :
 Konsentrasi :
                            Tabung I  : (-)
                            Tabung II  : (-)
                            Tabung III : (-)
                            Tabung IV : (-)
Titer :
0 IU

Makassar, 11 Juni 2012
     Pembimbing                                                                         Pembimbing,


    (Nurdin, S.Si)                                                                         (Israwaty, S.Si)
Praktikan,

(Panca Rahmat)

 CREATED BY 
ANALIS MUHAMMADIYAH MAKASSAR '10 B1
P.NEUTRON